Selang beberapa hari kemudian..
Hari itu hari sabtu. Dengan gelisah aku berkali-kali melihat ke jam
dinding, sudah jam 12 lewat 40 menit tapi Pak Rudi (Kepala Sekolah)
masih dengan semangatnya menerangkan tentang rencana study lapangan
selama tiga hari yang akan diadakan di luar kota bulan depan. Yang
membuatku gelisah adalah entah kenapa hari itu tanpa sengaja aku
meninggalkan kunci rumah ibu Anna yang dipercayakannya padaku. Rumahku
bisa dibilang dekat dengan rumah ibu Anna, hanya membutuhkan waktu
sekitar 20 menit untuk pulang ke rumahku dan kemudian langsung ke rumah
ibu Anna. Yang membuatku khawatir adalah beberapa hari terakhir ini ibu
Anna pulang lebih awal. Biasanya hampir jam 2 siang ibu Anna baru
datang, namun kini jam satu lewat beberapa menit saja ia sudah datang.
Bahkan pernah suatu ketika ibu Anna sudah menunggu di depan rumahnya
pada saat aku datang, namun karena memang belum lewat jam 1 siang maka
ibu Anna tidak menarik panjang hal itu.
Sementara itu belum ada tanda-tanda Pak Rudi akan selesai bicara
sehingga membuatku semakin gerah saja. Selang beberapa menit kemudian
aku sudah tidak tahan.
"Pak sudah siang nih," ujarku memberanikan diri.
Untung saja teman-teman kelasku yang lain ikut-ikutan memprotes
sehingga dengan terpaksa Pak Rudi menyudahi pembicaraannya lalu
membubarkan kelas. Langsung saja aku berlari secepatnya untuk segera
pulang ke rumah mengambil kunci baru kemudian ke rumah ibu Anna. Dan
benar saja kekhawatiranku, meskipun dengan sekuat tenaga aku berusaha,
aku baru bisa sampai pada jam 1 lewat 10 menit. Dan ibu Anna sudah
menyambut di depan pintu rumahnya dengan pandangan yang mau membunuhku
ketika melihatku datang.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" kata ibu Anna kepadaku ketika kami sudah berada di dalam rumahnya.
"Tahu bu" jawabku.
"Bagus, berarti kamu juga tahu apa hukuman kamu?" lanjutnya lagi.
Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaanya. Bisa-bisanya aku tidak
ingat dengan ucapanya waktu itu. Aku mencoba berpikir mengingat-ingat
apa yang waktu itu pernah ibu Anna katakan padaku tentang hukuman apa
yang diberikan jika aku datang telat. Semakin lama aku berpikir semakin
aku tidak bisa ingat apa-apa, apalagi aku mejadi semakin gugup melihat
gerak-gerik ibu Anna yang tampaknya akan marah besar.
"Tahu tidak!?" bentak ibu Anna di depan wajahku.
"Maaf bu" jawabku pasrah.
"Dasar otak kontol" makinya padaku semaunya.
Entah mengapa setelah mendengar makiannya yang pedas, aku langsung
teringat dengan perkataanya waktu itu. Ketika itu ibu Anna memberikan
surat ancamannya yang disertai dengan foto-foto diriku, siangnya ibu
Anna menemuiku dan memberikan kunci rumahnya padaku disertai dengan
perintah-perintah dan peringatannya jika aku sampai telat aku akan
dihukum seperti pada waktu aku pertama kali datang kerumahnya (baca "My
Teacher").
Namun kini sesudah aku mengetahuinya, aku malah tidak berani
mengatakannya, karena aku tahu ibu Anna sekarang ini sedang marah
besar, dan menurut pendapatku pada saat ini ibu Anna lebih suka aku
diam tidak menyela makian-makiannya pada diriku.
"Bagaimana sekarang?" tanyanya padaku setelah puas menyemburkan cacian padaku selama hampir semenit lamanya.
"Ampun Bu saya pantas dihukum" jawabku terpaksa.
"Sekarang kamu pulang dan minta ijin sama orang tua kamu untuk
menginap di rumah teman kamu malam ini" katanya padaku setelah terdiam
sesaat.
Walaupun aku tahu apa yang akan terjadi padaku, namun tetap saja
aku tidak berani protes, bahkan untuk menatap matanya saja aku tidak
berani.
"Baik bu" jawabku lirih.
"Kamu harus kembali kesini dalam sejam" katanya padaku, "Awas kamu bisa dihukum lebih parah kalau lalai lagi" sambungnya.
Setelah itu, dengan tidak membuang waktu aku segera beranjak untuk
pergi pulang. Sesampainya dirumah aku segera berganti pakaian dan tidak
lupa membawa satu setel pakaian yang kumasukan ke dalam tas yang
biasanya kugunakan untuk bermain bola. Untung saja ibuku tidak terlalu
susah memberikan ijin padaku untuk pergi menginap hari itu. Dengan
segera aku bergegas untuk langsung pergi. Walaupun sebenarnya aku tahu
pada waktu itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu sebelum
kembali ke rumah ibu Anna, Namun kali itu aku tidak berani ambil resiko
untuk ayal-ayalan. Dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah
ibu Anna. Disana aku melihat ibu Anna sudah menungguku.
"Apa itu?" tanya ibu Anna sambil melihat ke tas yang kubawa.
"Baju bu" jawabku jujur.
"Kamu tidak perlu baju, taruh disana" katanya dengan dingin sambil menunjuk ke sofa.
Dengan segera aku melaksanakan perintahnya. Agak kecut juga hatiku
mendengar perkataannya, aku yakin tidak lama lagi ibu Anna akan
menyuruhku membuka pakaian yang kini kukenakan.
"Mulai sekarang kamu dilarang berbicara apapun juga, kecuali atas
seijin saya, mengerti?" katanya padaku dengan dingin. Aku mengangguk
mengiyakan.
"Bagus, sekarang ikut ibu" perintahnya lagi padaku.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Anna belum mengganti
pakaiannya, masih sama seperti yang biasa dia kenakan jika mengajar.
Setelan jas dan rok formal berwarna hitam serta sepatu hak tinggi,
sedangkan aku kini mengenakan kaos santai dan celana 3/4. Di tangannya,
ibu Anna membawa sebuah benda yang tidak terlalu kuperhatikan, namun
sepertinya aku dapat memastikan bahwa itu akan dipergunakan padaku.
Aku mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Benar
saja perkiraanku, ibu Anna membawaku ke ruang tempat menjemur
pakaiannya.
"Buka semua pakaian kamu!" katanya padaku setelah kami berada disana.
Dengan cepat aku meloloskan semua pakaianku. Meskipun di sana
adalah ruang yang terbuka pada bagian atasnya, namun tidak memungkinkan
bagi orang di luar untuk dapat melihat kegiatan kami didalam,
dikarenakan tembok disekeliling yang tingginya bersambung dengan tingat
dua bangunan itu. Aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang aku masih
saja tidak terbiasa berada dalam keadaan bugil dihadapan ibu Anna,
meskipun hampir setiap hari aku mengalaminya selama sebulan belakangan
ini. Dan entah kenapa setiap aku berada dalam keadaan seperti itu,
penisku langsung mulai menengang ketika ibu Anna menatapku dengan
perasaan jijik, tidak terkecuali saat ini.
"Saya lihat kamu sudah tidak sabar" katanya padaku sambil tangannya mengocok pelan penisku yang sudah tegang.
"Benar begitu hah?" tanyanya padaku sambil masih terus mengocok penisku.
"I.. Iya bu" jawabku.
"Diam!!" bentaknya sambil tangannya yang tadi digunakannya untuk mengocok penisku menampar pipi kiriku dengan keras.
Tamparannya lebih menyakiti harga diriku di banding kulitku.
"Kamu akan dihukum oleh karena itu" katanya ibu Anna kemudian.
Selanjutnya ibu Anna memasangkan sejenis kalung yang terbuat dari
kulit (collar) yang tersambung dengan rantai, di leherku, kemudian
ujung rantainya di kaitkan ke tiang besi yang terdapat di tengah-tengah
ruangan itu. Panjang rantainya sendiri sedikit kurang dari 2 meter.
Setelah ibu Anna selesai memasangnya, ibu Anna kemudian mengambil
sebuah benda yang berwarna hitam yang tadi dibawanya. Benda itu teryata
sebuah cambuk yang panjang talinya sekitar 1,5 meter.
"Ctarr".
Tanpa diduga-duga ibu Anna melecutkan cambuk itu. Secara refleks
aku melompat kaget, namun sesudahnya aku sadar bahwa ibu Anna hanya
memukul udara.
"Lari!" perintah ibu Anna.
Dengan segera aku mulai berlari. Ruang itu luasnya hanya 4x4 meter,
sehingga tidak memberikan banyak ruang bagiku untuk berlari, di tambah
dengan ikatan di leherku maka aku hanya berlari berputar-putar di
sekitar tiang itu.
Ctarr.. kali ini benar-benar sebuah cambukan mendarat tepat di pantat kananku.
"Auu!" jeritku sambil melompat kesakitan.
"Jangan bicara!" bentaknya padaku sambil mendaratkan sebuah pukulan lagi di punggungku. Kugigit bibirku untuk menahan sakitnya.
"Lebih cepat!" sambungnya memberi perintah. Mendengar perintahnya aku langsung berlari secepat-cepatnya mengitari tiang itu.
Aku sudah terbiasa dengan olah raga sepakbola, karena itu bisa
dibilang staminaku sedikit diatas orang-orang yang lain. Setelah
sepuluh menit barulah aku mulai merasa kehabisan tenaga. Sebenarnya
bisa dibilang keadaanku pada saat itu benar-benar konyol, dibawah terik
matahari, aku berlari sprint berputar-putar disekitar tiang dengan
keadaan bugil. Sedangkan ibu Anna tidak segan-segan mendaratkan
cambuknya di tubuhku jika aku mulai memperlambat gerakanku. Sudah
beberapa cambukan yang mendarat di tubuhku, diantaranya tiga di
punggung, dua di pantatku dan sekali mengenai tanganku. Setiap
pukulannya yang mendarat di tubuhku memberiku semangat untuk kembali
mempercepat lariku. Dan boleh percaya boleh tidak pukulan cambuk yang
mendarat di tubuhku memberiku tenaga lebih dari yang diberikan minuman
energi merek apapun juga. Dengan peluh yang sudah mengucur dari seluruh
tubuhku aku masih terus berlari hingga akhirnya aku hampir mencapai
batas ketahanan tubuhku.
"Stop" kata ibu Anna tiba-tiba.
Mendengar perkataanya langsung saja aku berhenti dan langsung jatuh
berlutut dengan nafas teputus-putus. Aku sangat yakin jika diteruskan
beberapa putaran lagi aku pasti akan pingsan. Karena pada saat itu aku
sudah merasakan intensitas cahaya dilingkungan itu bertambah besar,
suatu gejala ketika tubuh sudah mencapai batas ketahanan.
Selang beberapa saat aku mulai dapat mengatur nafasku. Baru setelah
itu aku mulai dapat merasakan perih sesungguhnya akibat cambukkan yang
tadi mengenaiku. Dengan perlahan aku mencoba untuk meraba bagian-bagian
tubuhku yang perih. Garis-garis merah bekas pukulan terlihat jelas di
paha dan tanganku. Sedangkan wajah ibu Anna menunjukkan ekspresi
kepuasan melihat penderitaanku. Setelah membiarkanku untuk istirahat
sejenak, kemudian ibu Anna memulai permainan lainnya.
Setelah melepaskan rantai dari tiang besi itu, ibu Anna kemudian
menyentaknya, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Dengan patuh
akupun kemudian merangkak mengikuti langkahnya. Ibu Anna sudah pernah
memberi perintah jika aku mengenakan collar maka aku tidak
diperbolehkan berjalan berdiri, melainkan merangkak seperti anjing.
Ibu Anna ternyata akan membawaku ke lantai dua. Aku tidak pernah
mengetahui ada apa di sana, karena ibu Anna tidak pernah membiarkan
pintu yang terdapat di ujung tangga tak terkunci. Dengan tangan kiri
memegang rantai yang terhubung dengan collar di leherku, ibu Anna
membuka pintu itu dengan tangan kanannya. Aku sebelumnya sempat menduga
bahwa lantai dua itu dipergunakan sebagai gudang, namun dugaanku
meleset sedikit.